Jumat, 28 Maret 2014

kontemplasi amatiran

“Jadi orang dewasa itu menyenangkan, tapi susah dijalanin”, begitu kata salah satu iklan di tv.

Sempet mikir, apa sih perbedaan anak2 sama orang dewasa?

Katanya anak-anak cenderung lebih bahagia dibanding orang dewasa, kenapa?

Mungkin karena anak-anak belum ada beban, belum ada tanggung jawab sosial, wajar mungkin
Kalau orang dewasa biasanya suka membanding-bandingkan, gengsi lebih dikedepankan daripada kebahagiaan diri sendiri, mungkin gara-gara arus informasi yang katanya harus begini begitu lah, satu lawan banyak, jadi ikut terbawa juga

Tidak berkeluh kesah mungkin susah bagi orang dewasa,apa boleh buat?kecenderungan manusia memang seperti itu,ekspektasi, harapan,kadang tidak berbanding lurus dengan usaha.

Semakin dewasa semakin berpikir sekolah untuk bekerja, bekerja untuk nyari duit,duitnya untuk sekolah lagi,berputar terus,tidak sepenuhnya salah memang

Asal manfaat tetap ada, asal bahagia tetap terjaga

Semakin dewasa Ketenangan dan ketentraman jadi hal langka, tempat menggantungkan kedua hal itu pun semakin banyak saja, berprasangka sudah biasa, munafik sudah jadi makanan sehari-hari

Esensi esensi jarang lagi diperbincangkan,hanya kepentingan saja, jangan salah,tak  hanya di lingkaran yang besar, diri sendiri pun juga seperti itu

garis batas antara yang baik dan jahat tidak jelas, siapa sebenarnya yg jahat? Orang yg mengemis, menipu untuk bertahan hidup ,apa kita, yg mampu tapi ga peduli lagi? Hanya peduli mau jadi apa kita besok, akan jadi seperti apa kita di mata orang

aah , daripada mengutuk gelap lebih baik menyalakan lilin, namun di mana pemantiknya
menengok masa depan memang perlu, pun juga melihat ke belakang

Tapi ,” tugas kita di dalam hidup ini hanyalah menjalaninya dengan sungguh-sungguh, serius, dan bekerja keras, tanpa harus memikirkan hasilnya seperti apa,tanpa harus terbebani oleh pikiran kita apakah kita mampu atau tidak” , mengutip kata-kata bu Astri Novianty, dosen saya

kalau bisa seperti dalam kalimat itu,nikmat sekali nampaknya, sangat menenangkan,karena memang kita tak akan pernah tahu apa yang akan terjadi, mati pun tak akan tahu kapan

Namun implementasinya?mungkin memang butuh perjuangan, melawan si diri sendiri, si musuh yang nyata, dan si lingkungan-lingkungan

Kadang iman naik, kadang turun,kadang jauh dari Tuhan, kadang dekat,kitanya, bukan Tuhan, karena Tuhan selalu dekat

“Hasbunallah wani’mal-wakîl, ni’mal-mawlâ, wani’man-nashîr" (Cukuplah Allah tempat berserah diri bagi kami,  sebaik-baik pelindung kami, dan sebaik-baik penolong kami".)


Bandung, 29 Maret 2014





Senin, 24 Maret 2014

Rumus Warisan

 Dalam mekanisme kita hari ini, logikanya akan berjalan seperti ini:

1. Untuk memperoleh UANG, orang2 harus BEKERJA
2. Untuk BEKERJA, orang2 harus memiliki PENDIDIKAN
3. Untuk memiliki PENDIDIKAN, orang2 harus punya UANG.

Maka, siklus ini kembali lagi ke UANG, dan seterusnya, dan seterusnya. Rumus ini diwariskan oleh orang2 tua kita, menjadi model pemahaman orang banyak, dan kita seolah lupa untuk mulai bertanya2, apakah hidup hanya akan dihabiskan dengan rumus warisan seperti ini?

Bagaimana mungkin kita akan bekerja dengan bahagia, tulus, senang, jika tujuan kita selalu uang? Bagaimana mungkin kita bisa menjadikan pekerjaan kita sebagai ladang ibadah jika di otak kita pikirannya hanya untuk uang? Kita mewarisi rumus ini begitu saja, jika ada yang mengajak berpikir, bagaimana mungkin? Kita langsung bergegas bilang: 'kalau kagak ada uangnya, bro, ente mau makan apa? mau ngasih apa anak-istri?"

Bagaimana mungkin kita mengenyam pendidikan, sekolah hanya untuk tujuan agar besok lusa bisa bekerja dan mendapatkan gaji tinggi? Aduh, itu merusak sekali hakikat pendidikan terbaik. Orang2 sibuk mencari sekolah favorit, universitas favorit, simply kalau ditanya, agar besok lusa lebih nyari pekerjaan, terjamin masa depannya. Kita juga mewarisi rumus ini begitu saja, jika ada film, buku, tulisan penuh inspirasi tentang hakikat pendidikan, memang sih kita insyaf sejenak, tapi besok lusa, kembali sikut2an. Lucu sekali kalau kita sekolah hanya mengejar ijasah? Persentase kelulusan? Hingga sekolah dengan tega melakukan nyontek massal demi capaian matematis tersebut. Buat apa?

Dan siklus ini dengan teganya kembali ke muasal lagi, sekolah2 mahal, pendidikan mahal. Untuk menjadi dokter, mahal sekali. Untuk masuk TK/SD, mahal sekali. Karena rumusnya sudah begitu, untuk memiliki pendidikan, orang2 harus punya uang. Besok lusa jika pendidikannya sukses, maka dia memperoleh pekerjaan bagus, dan jika pekerjaannya bagus, besok lusa dapat uang. Untuk apa? Muter lagi siklus ini di anak2 kita, cucu2 kita, dan seterusnya.

Maka, semoga ada yang mau memikirkan ulang rumus ini bagi dirinya sendiri dan bagi keluarganya besok kelak. Boleh saja memang sekolah demi pekerjaan masa depan, demi gaji tinggi, boleh. Tapi jika kita meletakkan tujuan pendidikan pada hakikatnya: belajar. Kita bisa memperoleh sekaligus semuanya. Bahagia ketika sekolah (bodo amat sekolah/kampus kita tidak ngetop), bahagia ketika belajar (bodo amat fakultas/jurusan kita tidak keren); lulus dengan kejujuran terbaik, memperoleh ilmu terbaik, lantas kemudian, pasti akan hadir pekerjaan yang kita sukai. Hal kecil, jika ditekuni dengan baik, dan kita menjadi terbaik di bidang itu, tetap saja membuat hidup kita berkecukupan.

Kita tidak akan mudah mengeluh, tidak dikit2 membanding2kan dengan orang lain, tidak akan sibuk pamer, sombong, bangga hati, saya lebih keren, jika memiliki rumus yang berbeda. Rumus pemahaman baiknya. Apa itu? Bahwa kenapa kita bekerja? Karena itu ladang ibadah terbaik, penuh dengan kesempatan berbuat baik. Kenapa kita sekolah? Karena lurus untuk mencari ilmu terbaik untuk kehidupan terbaik milik kita besok lusa.

Demikian.

repost, sumber : https://www.facebook.com/darwistereliye/posts/653277044722867?stream_ref=5

Kamis, 20 Maret 2014

*Buat apa sekolah?

Siapa yang pernah menonton 3 idiots? Banyak. Siapa yang suka film itu? Banyak yg suka. Tetapi siapa yg sebenarnya mengambil pelajaran paling cemerlang dari film itu? Entahlah, siapa yg mengambil manfaatnya.

Ada ibu-ibu dengan anak gadis yang siap menikah. Menonton 3 idiots, ibu-ibu ini sampai menangis. Tapi saat anaknya bilang mau menikah, dan hanya akan jadi ibu rumah tangga saja, ibu-ibu langsung bergegas bilang, "nggak boleh. enak saja sy sekolahkan tinggi2, hanya untuk jadi ibu rumah tangga!" Lihatlah, jawaban itu menunjukkan sama sekali tidak berbekas pemahaman yang datang dari film barusan ditontonnya.

Kita ini sekolah tinggi2 buat apa sih? Buat nyari pekerjaan keren? Buat jadi pegawai? PNS? Buat nyari rezeki? Keliru kalau jawabannya iya. Saya membuka kitab-kitab, membaca buku-buku tua, menelusuri kesemua hal, tidak ada satupun nasehat yang bilang: sekolahlah tinggi2, agar besok bisa jadi pejabat, kaya raya, dan berbagai ukuran duniawi lainnya, dsbgnya, dsbgnya. Apalagi kalau membuka kitab yg tidak penah keliru: Al Qur'an, juga merujuk nasehat yg tidak akan salah: riwayat Rasul, seruan untuk belajar, tidak ada rumusnya dengan ukuran duniawi.

Kita disuruh belajar, mencari ilmu (dalam dunia yg sangat modern ini ukurannya adalah SD, SMP, SMA, S1, S2, S3, S4, S5 dstnya), murni agar kita banyak tahu, asli agar kita paham banyak hal, dan ilmu itu b-e-r-m-a-n-f-a-a-t bagi kehidupan kita sehari2. Seorang istri yang S3, tidak ada masalah sama sekali tetap menjadi ibu rumah tangga, dan ilmunya bisa bermanfaat utk keluarganya. Ilmunya bisa bermanfaat buat tetangga, sekitar, aktivitas apa saja yg bisa dia lakukan, terlepas mau bekerja di perusahaan/pemerintah atau hanya bekerja di rumah.

Itu benar, saya tidak akan membantahnya, memang ada korelasi kuat antara berpendidikan dengan masa depan cerah, tapi definisi 'masa depan cerah' itu bukan s-e-m-a-t-a-2 ukuran duniawi yang membuat proses belajar selama ini jadi kosong. Bukan hanya itu.

Maka, kembali ke film 3 idiots tadi, bukankah Rancho hanya belajar dan belajar. Dia senang belajar, dia senang mencari ilmu. Titik. Sisanya, serahkan pada nasib. Dia tidak peduli gelar, dia tidak peduli mau bekerja jadi apa, dia tidak peduli. Bahkan saat dia harus menyingkir dari 'kehidupan', pergi menjauh dari gemerlap banyak hal, justeru kehidupan dan gemerlapnya dunia yang datang kepadanya. Sementara Silencer, teman kuliahnya dulu yg selalu sibuk berhitung atas duniawinya, merasa sudah memenangkan segalanya, ternyata kosong saja, dia hanyalah orang yg amat tergantung nasibnya dgn orang lain. Takut dipecat kerja, tergantung nafkahnya dari orang lain, dan diperbudak oleh materi. Sejatinya Silencer hanya orang 'suruhan', terutama suruhan ambisi dan nafsu duniawi--meskipun direktur sekalipun posisinya.

Aduh, bukankah rumus ini banyak terjadi di sekitar kita? Ada banyak teladan yg memilih sibuk belajar, belajar, bekerja, bekerja, terus menjadi yg terbaik, mau jadi apapun dia, bahkan sekadar ibu rumah tangga, hidupnya t-e-r-n-y-a-t-a tetap spesial, bermanfaat bagi banyak orang. Sebaliknya, buanyaaak sekali, yg sibuk menghitung nilai raport, menghitung sekolah sy elit, keren, saya sudah S2, S3, situ apa sih? sy sekolah di kampus ngetop, situ dimana sih? Ternyata tidak pernah lepas dari kungkungan hidupnya, meskipun boleh jadi secara kasat mata sukses menurut ukuran dunia saat ini.

Demikianlah.

Tulisan diatas dikutip dari page Fb Darwis Tere Liye

 Paling senang kalimat yang ini :

"Dia senang belajar, dia senang mencari ilmu. Titik. Sisanya, serahkan pada nasib. Dia tidak peduli gelar, dia tidak peduli mau bekerja jadi apa, dia tidak peduli. Bahkan saat dia harus menyingkir dari 'kehidupan', pergi menjauh dari gemerlap banyak hal, justeru kehidupan dan gemerlapnya dunia yang datang kepadanya"

bukankah hal di atas menunjukkan suatu kompetensi ikhlas dan tawakkal...


Saya pikir banyak yang paham bahwa memang esensi ilmu seperti hal yg disebutkan diatas, namun mungkin yg susah (pada jaman seperti ini) adalah mematrikan pemahaman seperti itu ke alam bawah sadar kita, dan menjadikannya sebuah prinsip,dan mengaplikasikannya dalam sehari-hari,

yah tapi semoga kita bisa memulai menjadi seperti itu, buang ketakutan2 yg ga pasti, pahami esensi dari suatu hal, pelan-pelan , sedikit demi sedikit,tetap saling ngingetin,

Semangat, semangat!

Rabu, 12 Maret 2014

Katanya

Katanya, kau ingin menjadi seperti apapun yang kau inginkan,
namun nyatanya, kau hanya mengejar apa yang orang bilang itu bagus,
katanya kau akan mendengarkan kata hatimu sendiri
namun nyatanya, kau masih sering terbawa arus, yang entah akan membawamu ke mana
katanya, kau ingin jadi diri sendiri
namun nyatanya, kemunafikan itu masih terlihat jelas dari bahasa tubuhmu
katanya, kau tahu mana yang benar mana yang salah
namun nyatanya, memang kau tahu benar dan salah itu, kalau kitab sucimu saja tak pernah kau buka
katanya, kau ingin berkontribusi terhadap sekitarmu
namun nyatanya, dirimu sendiri pun tak bisa kau urus
katanya, kau tak akan lari lagi
namun nyatanya, kau masih saja bersembunyi
katanya kau paham bahwa kita semua sama
namun nyatanya, kau masih saja meremehkan orang
katanya kau tahu Allah akan menambah nikmat orang yang bersyukur
namun nyatanya, kau masih saja sering mengeluh
katanya, kau tahu bahwa Allah akan mengabulkan doa orang yang meminta kepadanya
namun nyatanya, kau jarang sekali meminta kepadanya

siapa sih kau itu? Ooh, ternyata kau itu adalah aku sendiri,atau kamu juga?atau kita?

Terakhir, katanya kau,aku,kamu ,kita,lelah dengan diri kita masing-masing
 katanya kau, aku,kamu, kita tahu bahwa jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah
Dan nyatanya..,nyatanya..., oh untunglah ternyata kau,aku,kita masih belum  menyerah
Masih terus mencoba memperbaiki diri kita masing-masing, mudah-mudahan 


(mudah-mudahan bisa jadi bahan introspeksi, chinmi pernah bilang pada shen orang yg mengakui kelemahan diri sendiri sangat bisa jadi kuat, karena dia tau jalur mana yang harus ditaklukkan,yah mudah-mudahan)

Bandung, 12 Maret 2014




Selasa, 11 Maret 2014

Kapan kita

“Meskipun ga selalu, tapi (biasanya)kebanyakan anggota rutin sholat lima waktu di masjid adalah para orang tua dibandingkan anak muda, lo pernah mikir ga man kenapa?”, saya jawab, “Ya karena apalagi sih yang dicari orangtua, mungkin tinggal nunggu dipanggil kan sama yang diatas”

“Yaa, beneer, trus kenapa anak  mudanya sedikit?”, saya jawab, “yah mungkin sebaliknya kali”

Mungkin kecenderungan kita seperti itu, orangtua lebih cenderung akan dipanggil lebih dulu dibandingkan anak muda, logis sih,tapi sebenarnya, kalau dipikir-pikir lagi, kita ga pernah tau kan kpan kita akan mati, kan?

Ujung-ujungnya, sebandel apapun kita waktu muda, mungkin pada saat kita tua, kita cenderung akan lebih banyak ibadah kali ya,lebih banyak ingat Tuhan, kenapa ya?Mungkin  karena waktu sudah tua mungkin kita akan lebih banyak mengingat mati daripada waktu kita muda.

Padahal kan, kita ga pernah tau kapan kita akan mati ya kan?

Kata pepatah, “jangan mikirin yg udh lewat, jangan terlalu takut sama masa depan (tapi tetap harus dipikirin juga), hiduplah dalam hari ini”, mungkin itu kali ya, karena kita ga pernah tau kpn kita akan mati

Mungkin...,

Bandung, 11 Maret 2014

Selalu ada

Saat kau lelah akan dirimu sendiri
Alam ini tetap ada untukmu
Selalu ada udara pagi yang menenangkan jiwa
Selalu ada suasana senja yang menyejukkan mata
Selalu ada semilir angin untuk kau nikmati

Selalu ada aroma sehabis hujan yang melegakan
Selalu ada malam dengan suara jangkriknya
Selalu ada rembulan untuk kau tatap
Tinggal bagaimana kau menghayatinya, hanya itu
Dan selalu ada, Tuhanmu untuk tempat kau mengadu


Bandung, 11 Maret 2014


Jumat, 07 Maret 2014

Masa yang belum akan datang

Waktu itu ada tugas dari Pak Agus, dosen saya di Mata kuliah Jaringan Masa Depan, sebenarnya  tugasnya mengenai menulis inovasi apa yg mau kita buat di masa depan mengenai jaringan, tapi saya keliru mengiranya  jadi apa yg mau saya perbuat di masa depan, jadi deh tulisan ini, tapi tak mengapalah, lumayan buat brainstorming, mengayal ngayal apa yg mau saya lakukan di masa depan,

walaupun ini masa  yang belum akan datang, tapi tak apa apa kan menghayal


IN THE FUTURE

Actually, i want to be a researcher in the future, because i think researcher is so cool. And without a researcher, lets say like thomas alfa edison, its impossible we can enjoy the lamp.The first reason I want to be a researcher because Researcher made so many benefit and impact to the society, even when they already die, and the secod reason because i’d love to explore something, of course in the things that i interest.

And in the future, i’d love to dream Indonesia college/university has the research facilities quality and facilities,top world rangking colege, like the top university in the world like a MIT, harvard, and princeton, so our people is more desire to study in ourself country than in the other country.And i want to be one of them who contribute to make it happen.

So how to make it happen? Of course i must study hard, be expert in the major that i study, and learn the other different major so i can see the world more objectively. And of course i must help other people too, and make a team. Because impossible to do it alone.

In the literature that i read ( i forgot the source) Its say, the decreasing of our country in the eduaction and technology compare to the other country because so many people have a lack of basic skill such as mathematics, critical thinking and we dont know how to think right and systematically.

Right now, maybe i dont know anything about math, but in the future i have interest to learn it again.

Sunday, 2th of March 2014

© Free Like a Swallow 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis