Di era industri modern seperti jaman ini , pendidikan formal,
lingkungan sekitar, entah mengapa kadang membentuk pikiran saya untuk
ingin selalu memikirkan dua hal ini, yaitu “to be”( menjadi sesuatu)
dan juga “to have” (memiliki sesuatu). Namun mungkin perlu kita
rekonstruksi ulang kedua hal tersebut agar kita memiliki pemahaman yang
lebih presisi.
Ingin
menjadi sesuatu misalnya, kebanyakan dari kita, orang
indonesia(termasuk pun saya) ingin menjadi atau bercita-cita menjadi
sesuatu agar kita mendapatkan sesuatu yang lain. Misal kita ingin jadi
dokter, pejabat,pengusaha, menteri , kita ingin menjadi sesuatu tersebut
bukan karena aktivitas yang ada di dalamnya, melainkan karena
pekerjaan-pekerjaan tersebut dipandang sebagai pekerjaan yang cepat
menghasilkan banyak uang.
Jadi, modus sebenarnya dari
kebanyakan cita-cita kita adalah uang, aktivitasnya itu nomor dua. Hal
semacam ini pun sebenarnya sama pada waktu kita duduk di bangku kuliah.
Yang utama adalah nilai, ilmu itu nomor dua. Saya jadi ingat pesan dosen
saya dulu ketika pertama kali awal masuk kuliah, “tdk ush mikirin nilai
dek, yang penting kamu belajar sungguh-sungguh, serap ilmunya, nanti
nilai akan mengikuti dengan sendirinya”. Nilai saya sendiri pun jelek
ketika kuliah karena salah satunya saya mendengarkan pesan beliau namun
tak saya pahami lebih mendalam.
Namun bukankah pesan dari
dosen saya tersebut ini bisa kita analogikan dalam hal mencari
uang.Seperti nasihat yang saya kutip dari seorang guru berikut ini :
“Tak
usah memikirkan “to be” dan “to have” nya, pastikan saja aktivititas
yang ada di dalamnya kamu kerjakan dengan sungguh-sungguh, tidak mubazir
dan malas,niatkan untuk memudahkan urusan orang dalam hal yang baik,
dan pastikan juga kamu senang melakukan aktivitas tersebut, maka, uang
pun akan datang dengan sendirinya, bahkan mungkin lebih banyak daripada
jika pikiranmu hanya dihabiskan bagaimana mendapat uang yang banyak”.
Jadi,
uang (“to have”) adalah konsekuensi logis yang kita dapatkan dari kita
kebermanfaatan yang kita berikan, dari rasa percaya orang kepada kita.
Begitu juga dengan “to be”.
Beberapa pendapat di atas
adalah asumsi kalau kita berprasangka buruk,kalau mau berprasangka baik,
mungkin masih buaanyak orang yang tulus bekerja simply karena itu
adalah ladang ibadah terbaik. Tapi kan kadang menurut saya kita harus
bernai menilai diri sendiri apa adanya, agar jikalau pemahaman kita ini
salah, jangan sampai pemahaman ini kita sampaikan ke adik-adik kita
secara sadar maupun tak sadar. Soalnya,jujur, kalau terlalu memikirkan
“to be” dan “ to have” kadang jadi stress sendiri..
Ditulis Pada 30 Agustus 2015
0 comments:
Posting Komentar