Minggu, 20 September 2015

Sebutan Sebutan

Kira-kira, apa Nabi Sulaiman yang dalam cerita bisa bercakap-cakap dengan semut itu tau siapa nama makhluk itu sebenarnya? Saya bilang begitu karena nama “semut” itu sebenarnya adalah  hanya sebutan yang kita ( manusia)  berikan untuknya. Lantas kalau kita tanya si semut siapa ya nama yang diberikan Allah untuknya? Tapi ya pasti kita paham  nama “semut” itu memang kan hanya sebuah nama yang diberikan untuk mengkategorikan makhluk yang mempunyai ciri-ciri tertentu.

Oke, tak penting saya tau nama semut yang sebenarnya, yang penting saya tau nama saya. Saya Firman Fakhri Mukti, biasanya di panggil Firman. Tapi, apa saya benar-benar Firman? .Mungkin sama seperti cerita di atas, Firman hanyalah nama yang diberikan Bapak Ibu saya ketika saya lahir sampai sekarang.

Firman Fakhri Mukti, ya itu nama panjang saya. Namun sejak November 2014, saya mendapat “tambahan nama” berupa dua huruf inisial yaitu S.T, singakatan dari Sarjana Teknik. Lalu apakah saya benar-benar seorang S.T? bisa jadi ya bisa jadi tidak. Ya, karena sesuai “rules” nya jika saya telah meyelesaikan 144 SKS mata kuliah dengan standard nilai tertentu saya akan mendapat gelar tersebut. Tapi bisa juga di bilang tidak, jika kapasitas saya tidak sesuai dengan apa yang tertulis pada  visi misi lembaga yang memberikan gelar tersebut.

Ke depannya entah gelar apa lagi yang akan bertengger di depan atau di belakang nama saya. Jika saya nanti pergi Haji , mungkin saya akan menjadi H.Firman Fakhri Mukti, ST. Jikalau saya nanti kuliah lagi S2,S3, Doktor mungkin nama saya akan menjadi Prof. Dr H. Firman Fakhri Mukti, ST, MT, Phd. Wiih, banyak amat ya,haha. Tapi sebenarnya  itu semua kan hanya sebutan dari kesepakatan kita. Coba kita copot gelar itu satu persatu, bahkan sampai nama kita sendiri. Setelah semua itu dicopot, lantas siapa kita sebenarnya?

Jawabannya, tentu saja kita ini Ma-nu-sia. Sama dengan cerita semut di atas, kita pun punya ciri-ciri, selain ciri fisik, kita punya ciri yang membedakan dengan makhluk lainnya, yaitu punya akal, perasaan, dan nafsu. Lalu apa hubungannya dengan cerita di atas? Maksud saya, jangan sampai hal-hal seperti gelar agamawi dan gelar akademis  di atas menjadi hijab(penghalang) bagi kita untuk menyadari (bukan sekedar tau) siapa sih kita itu sebenarnya? Ko kita ada di Bumi? Abis itu mau ke mana?

Mengenai gelar, saya tidak bilang itu tidak penting. Gelar,adalah bukti bahwa seseorang telah melewati berbagai ujian teknis di satu bidang tertentu. Dan mungkin memang penting di zaman modern seperti sekarang, karena hal itu merupakan salah satu jalan untuk mendapatkan pekerjaan, kecuali, kita punya jiwa entepreneurship dan mau bekerja keras 3x lipat seperti misalnya Ibu Pudjiastuti yang bahkan lulus SMA pun tidak, namun bisa jadi Menteri, suatu hal yang mungkin kadang sulit ditangkap oleh nalar anak-anak modern kelas menengah seperti kita.

Namun sebenarnya ada hirarki yang lebih penting daripada sekedar “ilmu untuk gelar”. Bagi yang muslim, saya ingin menyampaikan pesan dari seorang guru. Tujuan kita menuntut ilmu itu Pertama, agar kita tau banyak hal, sehingga dapat bermanfaat bagi diri,sesama dan juga agar tidak membuat kerusakan lingkungan. Kedua, agar manusia mengenal siapa dirinya, seperti contohnya apa sifat-sifat hewani dan illahiah yang dimilikinya,mengapa template manusia diciptakan berkeluh kesah, kikir, dll, dab bagaimana cara mengatasi dan memanfaatkannya. Ketiga, ini yang paling penting, tujuan menuntut ilmu itu simply agar manusia enggak  “kesasar” dalam perjalanan pulang menuju Allah SWT.

Ditulis pada 11 Juni 2015

0 comments:

Posting Komentar

© Free Like a Swallow 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis