Kira-kira, apa Nabi Sulaiman yang dalam cerita bisa bercakap-cakap
dengan semut itu tau siapa nama makhluk itu sebenarnya? Saya bilang
begitu karena nama “semut” itu sebenarnya adalah hanya sebutan yang
kita ( manusia) berikan untuknya. Lantas kalau kita tanya si semut
siapa ya nama yang diberikan Allah untuknya? Tapi ya pasti kita paham
nama “semut” itu memang kan hanya sebuah nama yang diberikan untuk
mengkategorikan makhluk yang mempunyai ciri-ciri tertentu.
Oke,
tak penting saya tau nama semut yang sebenarnya, yang penting saya tau
nama saya. Saya Firman Fakhri Mukti, biasanya di panggil Firman. Tapi,
apa saya benar-benar Firman? .Mungkin sama seperti cerita di atas,
Firman hanyalah nama yang diberikan Bapak Ibu saya ketika saya lahir
sampai sekarang.
Firman Fakhri Mukti, ya itu nama panjang
saya. Namun sejak November 2014, saya mendapat “tambahan nama” berupa
dua huruf inisial yaitu S.T, singakatan dari Sarjana Teknik. Lalu apakah
saya benar-benar seorang S.T? bisa jadi ya bisa jadi tidak. Ya, karena
sesuai “rules” nya jika saya telah meyelesaikan 144 SKS mata kuliah
dengan standard nilai tertentu saya akan mendapat gelar tersebut. Tapi
bisa juga di bilang tidak, jika kapasitas saya tidak sesuai dengan apa
yang tertulis pada visi misi lembaga yang memberikan gelar tersebut.
Ke
depannya entah gelar apa lagi yang akan bertengger di depan atau di
belakang nama saya. Jika saya nanti pergi Haji , mungkin saya akan
menjadi H.Firman Fakhri Mukti, ST. Jikalau saya nanti kuliah lagi S2,S3,
Doktor mungkin nama saya akan menjadi Prof. Dr H. Firman Fakhri Mukti,
ST, MT, Phd. Wiih, banyak amat ya,haha. Tapi sebenarnya itu semua kan
hanya sebutan dari kesepakatan kita. Coba kita copot gelar itu satu
persatu, bahkan sampai nama kita sendiri. Setelah semua itu dicopot,
lantas siapa kita sebenarnya?
Jawabannya, tentu saja kita ini
Ma-nu-sia. Sama dengan cerita semut di atas, kita pun punya ciri-ciri,
selain ciri fisik, kita punya ciri yang membedakan dengan makhluk
lainnya, yaitu punya akal, perasaan, dan nafsu. Lalu apa hubungannya
dengan cerita di atas? Maksud saya, jangan sampai hal-hal seperti gelar
agamawi dan gelar akademis di atas menjadi hijab(penghalang) bagi kita
untuk menyadari (bukan sekedar tau) siapa sih kita itu sebenarnya? Ko
kita ada di Bumi? Abis itu mau ke mana?
Mengenai gelar, saya tidak
bilang itu tidak penting. Gelar,adalah bukti bahwa seseorang telah
melewati berbagai ujian teknis di satu bidang tertentu. Dan mungkin
memang penting di zaman modern seperti sekarang, karena hal itu
merupakan salah satu jalan untuk mendapatkan pekerjaan, kecuali, kita
punya jiwa entepreneurship dan mau bekerja keras 3x lipat seperti
misalnya Ibu Pudjiastuti yang bahkan lulus SMA pun tidak, namun bisa
jadi Menteri, suatu hal yang mungkin kadang sulit ditangkap oleh nalar
anak-anak modern kelas menengah seperti kita.
Namun
sebenarnya ada hirarki yang lebih penting daripada sekedar “ilmu untuk
gelar”. Bagi yang muslim, saya ingin menyampaikan pesan dari seorang
guru. Tujuan kita menuntut ilmu itu Pertama, agar kita tau banyak hal,
sehingga dapat bermanfaat bagi diri,sesama dan juga agar tidak membuat
kerusakan lingkungan. Kedua, agar manusia mengenal siapa dirinya,
seperti contohnya apa sifat-sifat hewani dan illahiah yang
dimilikinya,mengapa template manusia diciptakan berkeluh kesah, kikir,
dll, dab bagaimana cara mengatasi dan memanfaatkannya. Ketiga, ini yang
paling penting, tujuan menuntut ilmu itu simply agar manusia enggak
“kesasar” dalam perjalanan pulang menuju Allah SWT.
Ditulis pada 11 Juni 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar