Hai, aku manusia, sama seperti kau. Aku masih muda dan ku pikir, aku termasuk golongan kelas menengah, tidak miskin dan juga tidak kaya. Tidak pernah kekurangan makan, tempat tinggal cukup nyaman, pakaian pun aku punya banyak , dan kurasa cukup bagus dan indah. Pendidikanku cukup bergengsi, aku bisa menempuh sampai tingkat perguruan tinggi di Universitas yang cukup ternama.
Namun aku menjadi kaum kelas menengah bukan karena diriku sendiri, kupikir. Hal tersebut hanya karena konsekuensi dari orang tuaku yang melahirkanku dan merawatku. Aku belum apa-apa, pendidikan, pakaian, tempa tinggal, makan, semuanya dari orang tuaku, aku masih belum berdiri tegak di atas kakiku sendiri. Tanpa orangtua aku bukanlah apa-apa.
Sebagai kaum kelas menengah, tentunya aku punya banyak keinginan. Aku ingin pendidikan yang bergengsi, dengan gelar yang terpandang, ingin punya rumah, pakaian, dan kendaraan yang bagus. Ingin punya istri cantik , anak-anak yang baik, jalan-jalan rutin ke luar negeri, ingin punya uang banyak untuk menunjang hobi. Suatu hal yang lumrah dari manusia yang tak pernah puas.
Tapi sebagai seorang terpelajar dan harusnya bisa berpikir jernih karena konsekuensi situasi kelas menengah yang kudapat, aku rasa aku brengsek kalau hidupku hanya sebatas memenuhi apa yang menjadi keinginan pribadiku. Sangat lumrah mempunyai keinginan, namun aku mulai berpikir bahwa ada situasi dan kondisi di mana seseorang sebaiknya meletakkan apa-apa yang dia harus melakukannya di atas apa-apa yang menjadi keinginan pribadinya. Tentu saja atas dasar kemanusiaan, empati dan tenggang rasa, dan nilai-nilai baik lainnya.
Di Negeriku, banyak contoh orang hebat seperti itu. Para pejuang kemerdekaan negaraku yang ikut terjun dalam perang melawan kompeni adalah contoh yang bagus. Aku rasa tak ada orang yang suka perang, karena banyak nyawa yang akan melayang. Namun mereka tetap ikut berperang, walau nyawa taruhannya, karena harus,atas dasar kemanusiaan. Gubernur Ibukota Negeriku saat ini aku rasa juga contoh yang bagus. Dari cerita yang ku baca, dia pengusaha yang cukup sukses. Namun, dia memilih repot-repot terjun ke politik,karena harus, atas dasar keadilan dan kepentingan membela yang benar.
Nagasawa, salah satu tokoh dalam Novel Norwegian Wood karya Murakami pernah bilang, “ A gentleman is someone who does not what he wants to do but what he should do”. Aku rasa aku setuju dengan hal ini. Aku rasa hebat kalau kita kaum menengah dan terpelajar ini meletakkan apa-apa yang harus dilakukan di atas keinginan pribadi, tentu saja lebih keren lagi menurutku kalau dua-duanya imbang.
Aku kenal beberapa temanku saat kuliah yang bisa kubilang mereka gentleman. Seperti temanku yang aku tahu dia salah jurusan, namun tidak mengeluh dan tetap bisa berprestasi. Atau beberapa teman-teman di organisasiku saat jaman kuliah dulu, walaupun kegiatan organisasiku sangat padat, di tambah kuliah yang juga padat, tapi dua-duanya tetap dilaksanakan.
Apakah aku seperti itu juga? Dalam ingatanku mengenai keseharianku, nampaknya belum. Namun sebagai konsekuensi dari aku yang lahir dari kaum menengah dan sebagai seorang terpelajar,juga seorang manusia, juga aku tak mau jadi orang brengsek yang hanya memikirkan keinginan pribadi, aku rasa aku harus belajar menjadi seperti itu, seperti yang disebut oleh nagasawa..., a gentleman
Bandung, Februari 2015