Minggu, 20 September 2015

Jika Maka Syukur dan Kufur

Apa-apa yang ditawarkan Allah kepada manusia memang penuh dengan kasih sayang, kelembutan, dan mungkin juga kompromi. Salah satu contohnya pada QS Ibrahim ayat 7 yang bunyinya mungkin sering kita dengar, “lainsyakartumlaadziidannakum walainkafartuminnaa’zaabilasyadiid”. Terjemahannya ,”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.

Dalam ayat tersebut ada dua pernyataan

Pernyataan Pertama : jika kamu bersyukur, maka pasti kami akan menambah nikmat kepadamu

Nah, yang menarik ada di pernyataan yang kedua, kalau memakai irama pernyataan yang pertama (jika kamu begini, maka kamu akan begitu), seharusnya pernyataan kedua berbunyi “jika kamu mengingkari(nikmat-Ku), maka kami akan meng azabmu”. Tapi kalau kita lihat bunyi pernyataan kedua tidaklah seperti itu, melainkan seperti ini

Pernyataan Kedua : jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih

Perbedaannya? Kalau dalam pernyataan pertama, jelas ada hubungan sebab akibat, sebabnya bersyukur, akibatnya nikmatnya akan ditambah. Pernyataan pertama juga terdapat kata kerja, “kami akan menambah”, artinya ada hal yang akan dilakukan Allah jika kamu berbuat begini. Saya menyebutnya, ada konsekuensi langsung/otomatis.

Kalau dalam pernyataan kedua mungkin sama sekali tak ada konsekuensi langsung, tak ada hubungan sebab akibat langsung, dan sama sekali tak ada kata kerja seperti pernyataan pertama.Tak ada kalimat “maka kami akan”,yang ada adalah kalimat “maka sesungguhnya”. Jadi,mungkin dalam pernyataan kedua,yang ada hanyalah suatu peringatan dini “Kalau kamu kufur nikmat, ingat lho sesungguhnya azab ku pedih”.

Lalu mengapa seperti itu? Ya itu, karena Allah Maha Pengasih, Maha kompromi kepada hambanya. Kalau kita bersyukur, pasti langsung otomatis ditambah nikmatnya, tapi kalau kita kufur nikmat,mungkin tidak otomatis langsung diazab. Tapi diberi kesempatan dulu untuk introspeksi, evaluasi, dan bertobat. Kalau dipikir-pikir, kalau memang benar seperti itu, enak banget ya??

*note : diambil dari sebuah majlis ilmu, saya tulis ulang kembali, banyak memakai kalimat “mungkin”, karena hanya tafsir, belum tentu benar.

Ditulis Pada 17 September 2015

To Be dan To Have

Di era industri modern seperti jaman ini , pendidikan formal, lingkungan sekitar, entah mengapa kadang membentuk pikiran saya untuk ingin selalu memikirkan dua hal ini, yaitu  “to be”( menjadi sesuatu) dan juga “to have” (memiliki sesuatu). Namun mungkin perlu kita rekonstruksi ulang kedua hal tersebut agar kita memiliki pemahaman yang lebih presisi.

Ingin menjadi sesuatu misalnya, kebanyakan dari kita, orang indonesia(termasuk pun saya) ingin menjadi atau bercita-cita menjadi sesuatu agar kita mendapatkan sesuatu yang lain. Misal kita ingin jadi dokter, pejabat,pengusaha, menteri , kita ingin menjadi sesuatu tersebut bukan karena aktivitas yang ada di dalamnya, melainkan karena pekerjaan-pekerjaan tersebut dipandang sebagai pekerjaan yang cepat menghasilkan banyak uang.

Jadi, modus sebenarnya dari kebanyakan cita-cita kita adalah uang, aktivitasnya itu nomor dua. Hal semacam ini pun sebenarnya sama pada waktu kita duduk di bangku kuliah. Yang utama adalah nilai, ilmu itu nomor dua. Saya jadi ingat pesan dosen saya dulu ketika pertama kali awal masuk kuliah, “tdk ush mikirin nilai dek, yang penting kamu belajar sungguh-sungguh, serap ilmunya, nanti nilai akan mengikuti dengan sendirinya”. Nilai saya sendiri pun jelek ketika kuliah karena salah satunya saya mendengarkan pesan beliau namun tak saya pahami lebih mendalam.

Namun bukankah pesan dari dosen saya tersebut ini bisa kita analogikan dalam hal mencari uang.Seperti nasihat yang saya kutip dari seorang guru berikut ini :

“Tak usah memikirkan “to be” dan “to have” nya, pastikan saja aktivititas yang ada di dalamnya kamu kerjakan dengan sungguh-sungguh, tidak mubazir dan malas,niatkan untuk memudahkan urusan orang dalam hal yang baik, dan pastikan juga kamu senang melakukan aktivitas tersebut, maka, uang pun akan datang dengan sendirinya, bahkan mungkin lebih banyak daripada jika pikiranmu hanya dihabiskan bagaimana mendapat uang yang banyak”.

Jadi, uang (“to have”) adalah konsekuensi logis yang kita dapatkan dari kita kebermanfaatan yang kita berikan, dari rasa percaya orang kepada kita. Begitu juga dengan “to be”.

Beberapa pendapat di atas adalah asumsi kalau kita berprasangka buruk,kalau mau berprasangka baik, mungkin masih buaanyak orang yang tulus bekerja simply karena itu adalah ladang ibadah terbaik. Tapi kan kadang menurut  saya kita harus bernai menilai diri sendiri apa adanya, agar jikalau pemahaman kita ini salah, jangan sampai pemahaman ini kita sampaikan ke adik-adik kita secara sadar maupun tak sadar. Soalnya,jujur, kalau terlalu memikirkan “to be” dan “ to have” kadang jadi stress sendiri..

Ditulis Pada 30 Agustus 2015

APA ADA ANGIN DI JAKARTA

Saya sebenarnya tak suka pakai masker kalau naik motor, apalagi kalau pagi hari, karena masker jadi penghalang antara mulut saya dengan udara segar. Namun sekarang saya sering pakai,di Jakarta, si kota termacet, di Indonesia. Saya pakai karena katanya polutan yang berasal dari kendaraan bermotor macam CO,SO2, dan kawan-kawannya itu bisa ganggu kesehatan. Alhasil, waktu berangkat kerja,saya pakai ajalah masker, kadang-kadang juga sih tapi..

Kalau waktu pulang, kadang saya sering kasihan sama yang naik busway. Soalnya saya pikir, busway kan sudah ada jalur khususnya, yang boleh lewat hanya busway. Jadi orang ingin naik busway sebenarnya kan ingin mengindari macet. Eeh, kalau waktu sore, jam pulang kerja, busway masih aja kena macet,memang ga semacet jalur biasa sih, tapi tetap tidak sesuai asumsi awal tujuan dibuat busway.Penyebabnya? Ya karena pada mbandel, banyak mobil dan motor masuk jalur busway.

Kenapa sih pada mbandel ?  mari kita coba memposisikan diri . Sebut saja Fulan , dia di kantor sudah capek, banyak kerjaan, pulang jam 5,rumah masih jauh, dari tadi gas rem melulu karena macet.Lalu ia tergoda melihat jalur busway di sebelah kanannya,”lho lho kok kosong melompong nih sebelah kanan?” Ia tau jika ia masuk berarti melanggar peraturan, tapi ia lihat lagi, banyak pengendara motor bahkan mobil yang sudah melaju kencang di jalur itu. Lalu di kuping kirinya seperti ada bisikan “ayo fulan, hajar bleh, ga ada polisi ni, kamu pengen cepet melihat anak istrimu kan di rumah? gyehehe “. Akhirnya idealismenya pun runtuh, “sikat bleh”, ambil kanan,ngueeeeng!!

Jakarta,kenapa ya macet banget? Kalau baca-baca katanya sih dari total seluruh aliran uang di Indonesia, sekitar 80% nya berputar di Jakarta. Selain itu di Jakarta banyak perusahaan-perusahaan besar. Konsekuensi logisnya? Ada gula ada semut. Pasti banyak yang mencari penghidupan di Jakarta. Saya juga salah satunya, saya ini aslinya tangerang ,tapi dari jam 7 pagi sampai jam 6 malam ikut menuh-menuhin Jakarta, jadinya tambah macet deh.

Jakarta,kota metropolis, penuh prestisius, gengsi,kota tempat mencari penghidupan, tapi juga kadang kota penuh derita. Saya tak benci Jakarta, karena Jakarta hanyalah kota. Saya suka Jakarta (waktu musim Lebaran), dan saya (sejujurnya) tak suka Jakarta ketika jam pergi dan pulang kantor.Tapi saya kagum dengan banyak orang di sini, karena tetap semangat bekerja dengan situasi seperti di kota ini. Mulialah ia yang berpayah-payah mencari rizki dengan keringatnya sendiri,untuk dirinya sendiri dan untuk keluarganya.

Saat sedang menulis ini, saya ingat puisi karya Umbu Landu Paranggi, judulnya Apa ada Angin di Jakarta...


Apa ada angin di Jakarta
Seperti dilepas desa Melati
Apa cintaku bisa lagi cari
Akar bukit Wonosari

Yang diam di dasar jiwaku
Terlontar jauh ke sudut kota
Kenangkanlah jua yang celaka
Orang usiran kota raya

Pulanglah ke desa
Membangun esok hari
Kembali ke huma berhati

Ditulis Pada 1 Agustus 2015

Orang - orang yang Rindu Ramadhan

Banyak yang bilang sedih Bulan Ramadhan sudah hampir berakhir,dan sekarang memang sudah berakhir. Namun, sebenarnya apa yang kita sedihkan dari berlalunya Ramadhan? Apa suasananya? Apa ampunan dari Allah? Apa kesempatan untuk mendapatkan rahmat yang seluas-luasnya dari-Nya? Lalu apa sedih kita sama dengan sedihnya orang-orang saleh jaman dulu.

Biasanya jika kita sedih ditinggal sesuatu berarti kita menyukai sesuatu tersebut. Pertanyaannya apa kita benar-benar menyukai Ramadhan?. Bukan suasananya, namun perintah yang ada di dalamnya, yaitu perintah wajib puasa. Ya, puasa Ramadhan hukumnya wajib. Namun pernahkah kita berpikir mengapa sesuatu hal itu diwajibkan?

Sesuatu hal itu diwajibkan adalah karena pada dasarnya kita tidak suka akan sesuatu hal tersebut. Kalau kita suka akan sesuatu hal, kita tidak usah disuruh atau diberi perintah untuk melakukannya, ya karena kita memang suka, tak usah disuruh pun kita akan melakukannya. Contohnya makan, tak ada perintah wajib untuk makan, karena memang kita suka makan. Kalau dalam agama,yang ada itu perintah untuk makan yang halal, dan tidak berlebihan.

Kita, manusia, pasti lebih suka kenyang daripada lapar, karena itu sejujurnya mungkin kita tak suka yang namanya puasa. Karena itu kata “wajib” dituliskan dalam Qur’an dalam konteks Puasa Ramadhan, coba kita bayangkan jika kata “wajib” tersebut diganti kata “sunnah”, namun dengan segala benefit yang sama. Yaa, kemungkinan besar  pasti puasa kita bolong-bolong atau tidak puasa sama sekali.

Oke, jadi kalau secara naluri dasar kita tak suka puasa selama satu bulan penuh, mengapa kita harus melakukannya? Jawabannya tentu saja karena kita harus siap dan ikhlas melakukannya karena ingin mendapatkan Ridha Allah SWT. Karena apa hebatnya jika seseorang suka melakukan sesuatu dan dia berhasil melakukannya,itu namanya wajar. Namun, mungkin hebat jika kita berhasil melaksanakan apa yang kita tak suka, apalagi jika Allah SWT yang mewajibkan

Lalu apa latar belakang tulisan ini, pertama karena memang ingin menulis saja, kedua karena ingin mencoba jujur menilai diri, siapa saya,naluri dasar saya, dan siapa tau saya bisa jadi lebih paham atas sesuatu yang diwajibkan pada saya, dan apa output atas sesuatu yang diwajibkan tersebut, dan mungkin saya dapat meningkatkan kualitas rindu saya terhadap Ramadhan yang akan datang, jadi tak sekedar rindu suasana

akhir kata, Selamat Hari Raya Idul Fitri :)

Ditulis pada 17 Juli 2015

Sebutan Sebutan

Kira-kira, apa Nabi Sulaiman yang dalam cerita bisa bercakap-cakap dengan semut itu tau siapa nama makhluk itu sebenarnya? Saya bilang begitu karena nama “semut” itu sebenarnya adalah  hanya sebutan yang kita ( manusia)  berikan untuknya. Lantas kalau kita tanya si semut siapa ya nama yang diberikan Allah untuknya? Tapi ya pasti kita paham  nama “semut” itu memang kan hanya sebuah nama yang diberikan untuk mengkategorikan makhluk yang mempunyai ciri-ciri tertentu.

Oke, tak penting saya tau nama semut yang sebenarnya, yang penting saya tau nama saya. Saya Firman Fakhri Mukti, biasanya di panggil Firman. Tapi, apa saya benar-benar Firman? .Mungkin sama seperti cerita di atas, Firman hanyalah nama yang diberikan Bapak Ibu saya ketika saya lahir sampai sekarang.

Firman Fakhri Mukti, ya itu nama panjang saya. Namun sejak November 2014, saya mendapat “tambahan nama” berupa dua huruf inisial yaitu S.T, singakatan dari Sarjana Teknik. Lalu apakah saya benar-benar seorang S.T? bisa jadi ya bisa jadi tidak. Ya, karena sesuai “rules” nya jika saya telah meyelesaikan 144 SKS mata kuliah dengan standard nilai tertentu saya akan mendapat gelar tersebut. Tapi bisa juga di bilang tidak, jika kapasitas saya tidak sesuai dengan apa yang tertulis pada  visi misi lembaga yang memberikan gelar tersebut.

Ke depannya entah gelar apa lagi yang akan bertengger di depan atau di belakang nama saya. Jika saya nanti pergi Haji , mungkin saya akan menjadi H.Firman Fakhri Mukti, ST. Jikalau saya nanti kuliah lagi S2,S3, Doktor mungkin nama saya akan menjadi Prof. Dr H. Firman Fakhri Mukti, ST, MT, Phd. Wiih, banyak amat ya,haha. Tapi sebenarnya  itu semua kan hanya sebutan dari kesepakatan kita. Coba kita copot gelar itu satu persatu, bahkan sampai nama kita sendiri. Setelah semua itu dicopot, lantas siapa kita sebenarnya?

Jawabannya, tentu saja kita ini Ma-nu-sia. Sama dengan cerita semut di atas, kita pun punya ciri-ciri, selain ciri fisik, kita punya ciri yang membedakan dengan makhluk lainnya, yaitu punya akal, perasaan, dan nafsu. Lalu apa hubungannya dengan cerita di atas? Maksud saya, jangan sampai hal-hal seperti gelar agamawi dan gelar akademis  di atas menjadi hijab(penghalang) bagi kita untuk menyadari (bukan sekedar tau) siapa sih kita itu sebenarnya? Ko kita ada di Bumi? Abis itu mau ke mana?

Mengenai gelar, saya tidak bilang itu tidak penting. Gelar,adalah bukti bahwa seseorang telah melewati berbagai ujian teknis di satu bidang tertentu. Dan mungkin memang penting di zaman modern seperti sekarang, karena hal itu merupakan salah satu jalan untuk mendapatkan pekerjaan, kecuali, kita punya jiwa entepreneurship dan mau bekerja keras 3x lipat seperti misalnya Ibu Pudjiastuti yang bahkan lulus SMA pun tidak, namun bisa jadi Menteri, suatu hal yang mungkin kadang sulit ditangkap oleh nalar anak-anak modern kelas menengah seperti kita.

Namun sebenarnya ada hirarki yang lebih penting daripada sekedar “ilmu untuk gelar”. Bagi yang muslim, saya ingin menyampaikan pesan dari seorang guru. Tujuan kita menuntut ilmu itu Pertama, agar kita tau banyak hal, sehingga dapat bermanfaat bagi diri,sesama dan juga agar tidak membuat kerusakan lingkungan. Kedua, agar manusia mengenal siapa dirinya, seperti contohnya apa sifat-sifat hewani dan illahiah yang dimilikinya,mengapa template manusia diciptakan berkeluh kesah, kikir, dll, dab bagaimana cara mengatasi dan memanfaatkannya. Ketiga, ini yang paling penting, tujuan menuntut ilmu itu simply agar manusia enggak  “kesasar” dalam perjalanan pulang menuju Allah SWT.

Ditulis pada 11 Juni 2015

Kontemplasi

Apa masalah bangsa ini? Banyak, namun salah satunya yang paling penting adalah masalah kesejahteraan rakyatnya. Masalah kesejahteraan, Intinya bagaimana pemerintah sebagai otoritas tertinggi dalam suatu negara memastikan bahwa sebagian besar rakyatnya bisa mencapai tingkat kualitas hidup di mana minimal , perut kenyang, dompet terisi, dan otak juga terdidik.

Kenapa sekarang orang-orang banyak mengkritik pemerintah?Salah satu jawabannya kita mengkritik karena kita  kesal melihat sekarang banyak pejabat pemerintah yg korup di saat masih banyak rakyat kecil yang sengsara. Namun yg saya takutkan adalah apa kita benar-benar peduli? Apa kita yang tiap hari makan enak, dapat tidur dengan nyaman, penghasilan ada benar2 peduli dengan rakyat kecil? Jangan-jangan kita mengkritik pemerintah, berdebat bagaimana seharusnya yg benar hanya agar terlihat pintar, bukan karena benar-benar peduli.

Kebanyakan kita mungkin hanya memikirkan diri sendiri. Ya, tak apa sih, dalam prinsip rescue misalnya, pastikan diri sendiri memenuhi standard prosedur keamanan, baru kita bisa menolong yg lain. Contoh ketika ada orang tenggelam, pastikan kita bisa berenang sebelum kita menolong orang yg tenggelam tersebut, kalau tidak bisa berenang, lebih baik diam atau panggil yang lain.Daripada kita ikut tenggelam juga. Dalam hidup juga mungkin begitu,priorotasnya,minimal  pastikan kita dan keluarga terdekat aman dan mandiri secara finansial, kejar cita2 setinggi mungkin ,baru bermanfaat untuk sebanyak-banyaknya.

Tak ada yang salah dengan memikirkan diri sendiri dulu. Namun kadang saya takut, kalau tujuan hidup saya hanya sebatas itu. Mandiri secara finansial, kuliah di luar negeri, punya barang-barang mewah, punya istri cantik,  pekerjaan oke, social life bergengsi,tapi bukankan cita-cita seperti itu juga dimiliki oleh para koruptor?. Saya juga takut, apakah saya benar2 memiliki rasa empati, jangan2 saya hanya peduli pada diri sendiri, tapi sok-sok an punya empati.

Ditulis pada 4 Januari 2015

Kamis, 26 Februari 2015

Untitled 2

Bertemu di sudut pusat kota
Pria dan wanita
Mata saling memandang
Menunduk malu setelah itu
Siapakah gerangan dirinya, ingat-ingat sang Pria
Akankah dia lupa padaku, pikir sang wanita
Mencoba menelusuri kenangan
Mereka hanyut dalam lautan waktu

© Free Like a Swallow 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis