Minggu, 28 September 2014
Langsung atau lewat DPRD?
26 September 2014, DPR mengesahkan RUU Pemilihan Kepala Daerah. Pro dan Kontra pun santer dibicarakan di media social. Dan kali ini ijinkan saya menuangkan pendapat mengenai hal tersebut. Saya bukan wartawan yang punya banyak sumber informasi yang kredibel, saya juga bukan praktisi politik yang lebih tahu kondisi lapangan perpolitikan di Indonesia, saya juga bukan wakil golongan tertentu yang berniat menggiring opini massa, saya hanya pengamat amatiran, rakyat biasa yang tahu informasi Pro dan Kontra RUU Pilkada tersebut dari Media Massa, jadi pendapat saya ini bukan hasil pengamatan yang akurat. Tapi ijinkan saya berpendapat yaa, hhe.
Pertama , soal pilakda langsung. Pilkada langsung memang banyak biaya , keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak, Walaupun suara terbanyak tidak pasti lebih benar,namun berpotensi memunculkan pemimpin2 yg bagus asalkan calon2 yg diusung partai memang bagus dan rakyatnya pintar memilih, kalau tidak mungkin sama saja,korup.
Kedua lewat DPRD. Kalau Pilkada lewat DPRD memang lebih memakan sedikit biaya , keputusan mungkin lwat musyawarah mufakat, kalau tidak mencapai mufakat, baru mungkin melalui voting. Dan pasti ada potensi juga lahirnya pemimpin yg bagus, asalkan yang memilih tau bagaimana mengetahui calon2 yg kredibel dan juga keputusan yang diambil tidak terintervensi sedikitpun oleh kepentingan partai, kalau tidak ya mungkin sama juga, korup.
Yang dipermasalahkan dalam hal tersebut oleh banyak orang sekarang kan dari segi korupsi dan politik uang . Namun ada pendapat seorang teman, terlepas mana yg lebih baik mau lewat Pilkada langsung atau DPRD, sebenarnya yang sangat berkorelasi dengan korupsi adalah sistem pengawasan hukum. Hal ini pernah dibahas melalui UU pembuktian harta terbalik, kalau tidak salah UU no 7 tahun 2006 ( tolong dikoreksi jika salah).
Isi detailnya saya tidak tahu, namun inti yang saya tangkap adalah dari UUD pembuktian harta terbalik itu adalah mensyaratkan bahwa setiap pejabat publik wajib memberi pertanggungjawaban mengenai rekam jejak harta tersebut ketika dia mulai menjabat sampai akhir jabatannya. Dia harus mampu MEMBUKTIKAN dari mana saja asal harta kekayaannya dari awal menjabat sampai akhir jabatannya.
Teknis pelaksanaanya saya tidak tau , tapi inti manfaatnya adalah membuat calon pejabat yang hanya mengincar jabatan hanya untuk meraup uang dari kuasanya, atau balik modal semasa kampanye berpikir dua kali untuk menjadi pemimpin. “ Njir, kalo gue jadi pejabat ntar , gue harus buktiin harta kekayaan gue, ga bisa dah gue korupsi, atau ngambil untung lwat izin usaha pertambangan, ah klo gitu ga usah nyalonin lah gue , buang2 waktu dan duit aj” , misalnya seperti itu. Sehingga kalau UU ini diterapkan, akan lebih bisa difilter dengan lebih baik mengenai siapa2 saja calon pejabat yg memang ingin memimpin demi kepentingan rakyat.Dan btw, katanya UU ini sih belum berani diterapkan ( tolong koreksi juga yg ini jika salah).
Terakhir, saya tekankan lagi ini hanya pendapat pribadi dari seorang pengamat amatiran, dan karena itu, saya pun ga tau mana yg lebih baik pilkada langsung atau lewat DPRD, mungkin hanya waktu yg bisa menjawab. Namun, informasi di atas mungkin bisa memicu teman2 yg membacanya untuk mencari tau seperti apa sih detail UU pembuktian harta terbalik itu, karena saya juga belum mencari tau secara detail, hhe. Yaa, begitu saja deh, mohon dikoreksi jika ada yg salah.
Bandung, September 2014
Labels:
Opini
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar