Sabtu, 30 November 2013

Nasihat Pak Subhan



Dulu, waktu saya masih sekolah di Madrasah Tsanawiyah Pembangunan UIN Jakarta, guru fisika saya , Pak Subhan sering marah kalau saat dia mengajar, kami malah mengobrol, tidak memperhatikan, atau melamun di dalam kelas. Alhasil kalau dia mengajar, kami semua pasti benar-benar diam dan memperhatikan. Dia adalah salah satu guru killer di smp kami saat itu (menurut saya sih). Namun, sebenarnya bukan hanya ke-killer-an nya saja, tapi juga alasan yang dia sampaikan kenapa kami harus semangat belajar sangat mengena di hati, cailaah.

Jadi alasannya kira-kira seperti ini yang dia bilang “ Dosa, sungguh benar-benar dosa kalau kalian tidak mau atau malas belajar, kalian tau ga? Di saat kalian punya segala yang dibutuhkan untuk mendapatkan pendidikan yang baik, guru-guru yang baik, di luar sana masih banyak yang belum dan tidak bisa sekolah karena masalah ekonomi, mau jadi apa yang belum mampu di luar sana kalau kalian aja yang mampu kelakuannya kaya gini, males belajar, kalian dosa lho”.Bagi anak smp seperti kami alasannya itu ngena banget.

Namun apa yg terjadi sekarang, menurut saya, semangat belajar kita (atau saya doang kali ya) kebanyakan cenderung menurun dari sd, smp, sma, apalagi pada saat kuliah ini. Tren-tren yang berkembang saat kuliah yang membuat malas belajar mungkin seperti “ipk itu bukan, segalanya”,”ah, ntar juga ilmunya ga ke pake di dunia kerja”, rasanya berbeda jauh pada saat sd, atau smp ,yang belajar memang karena ingin belajar, ga ada intervensi apa-apa.

Saya sendiri pun sering mengalami males belajar saat kuliah, sering banget malah,kalau pak subhan tau, mungkin dia marah banget,dan biasanya alasan males belajar nya ampuh banget, “saya ga cocok dengan jurusannya, saya memang tidak mau jurusan ini awalnya”, sehingga pembenaran-pembenaran seperti “ipk bukan segalanya” atau “ilmunya ntar ga ke pake di dunia kerja” sering  menghampiri pemikiran kita, entah benar atau tidak.

Kalau memang yg ga cocok dengan jurusannya, pilihannya jelas sih, Cuma ada dua, maju terus atau pindah kuliah. Kalau untuk yg salah jurusan, dan karena beberapa sebab,tidak mungkin pindah, beridealisme lah dengan realita, berbuatlah sesuai kapasitas masing-masing. Jadi, jangan mengedepankan ego.

Kalau kata teman saya,kalau sudah berusaha semaksimal mungkin namun keinginan kita tidak sesuai, berarti memang itu jalannya, pasti ada sebabnya kenapa Tuhan “meletakkan” kita di sini, tidak ada yg namanya kebetulan.Mungkin Tuhan “meletakkan” kita di sini untuk memberikan pemahaman hidup yang lebih baik melalui teman-teman kita.atau memang potensi tersembunyi kita memang di tempat ini, siapa yg tau

Tapi kadang ada juga yg berpikir bahwa kita malas belajar dan kurang bergairah disebabkan sistem pendidikan di negeri ini , harusnya begini lah begitulah,kita punya idealisme masing-masing harusnya sistem pendidikan di negeri ini seperti di amerika lah,finlandia, atau seperti di novel totto chan lah,mungkin memang benar. Namun, kalau kita belum punya kekuatan untuk mengubahnya, ya udah, simple, jalanin aja dulu, sesuaikan idealisme kita dengan realitanya, berbuat sesuai kapasitas masing-masing. Nanti di masa kalau kita sudah jadi stakeholder, sudah punya power dan kekuasaan,cailaah, baru deh ubah sistemnya kalau dirasa kurang memuaskan.bantu pemerintah.

Terakhir,Inti nasihat dari pak subhan mungkin seperti ini,”gunakan waktu sebaik mungkin”,”belajar untuk bermanfaat bgi orang lain”,”jangan petantang petenteng” “mbok yo sadar akan kondisi sekitar biar lebih bersyukur”, kalau teringat nasihat pak subhan dan kelakuan saya selama ini, jadi pengen nangis rasanya hahaha, berapa banyak saya sudah buang-buang waktu ya?berapa kali saya petantang petenteng? dan berapa kali pula saya ga peduli ya?, mudah-mudahan di tulis panjang lebar begini bisa jadi bahan introspeksi , biar ga lupa, biar ga mendem di pikiran doang.

Firman fakhri

1 Desember 2013

Rabu, 27 November 2013

*Perasaan yang dusta

Berapa kali kita merasa lebih baik hanya karena kita sekolah/kuliah di tempat yang lebih terkenal dibanding orang lain? Berapa kali kita merasa lebih unggul hanya karena kita mengenyam pendidikan di tempat yang lebih prestius dibanding orang sekitar?

Berapa kali kita merasa lebih baik karena harta yang kita miliki, karya yang kita hasilkan, posisi atau jabatan yang kita punyai? Belum lagi berapa kali kita merasa lebih oke karena pekerjaan, profesi, penghasilan, atau bahkan rumah yang kita tinggali, mobil yang kita naiki? Dan berapa-berapa kali kita merasa lebih atas dibanding orang lain karena aktivitas, organisasi, tempat, pengajian, pakaian, dsbgnya yang kita ikuti?

Tentu saja tidak usah dijawab. Simpan saja masing2. Hal-hal seperti ini biarkan saja jadi rahasia masing-masing.

Nah, orang-orang yang beruntung, setiap kali terbersit perasaan itu, maka dia bergegas mengusirnya pergi. Menyesal. Amat menyesal. Orang-orang yang merugi, membiarkan saja perasaan itu muncul, bahkan menunjukkannya dengan jelas agar orang lain tahu dia memang lebih baik. Dan ajaibnya, bukan ditunjukkan di rumah sendiri, di lingkungan sendiri dengan konsumsi terbatas, tapi datang ke rumah orang lain, tiba-tiba nyeletuk bilang kalau dia 'lebih baik'.

Inilah yang diseut 'perasaan yang dusta'. Setiap kali hal itu muncul, kita sebenarya sedang berdusta pada diri sendiri. Maka semoga kita menjadi orang-orang yang beruntung, tidak apa hal itu sering muncul, tapi segera usir jauh2 saat terlintas. Usir jauh-jauh, seperti kita sedang merasa jijik sekali dengan hal yang memang menjijikkan

repost dari page fb darwis tere liye

Minggu, 24 November 2013

Pepatah si keledai



Pepatah bijak mengatakan “jangan terjatuh dua kali pada lubang yang sama”,”hanya keledai yang jatuh dilubang yang sama dua kali”

Saya tidak tahu sumber awal pepatah itu darimana, dan terlepas juga dari kenyataannya apakah keledai itu benar-benar bodoh atau tidak, mungkin ada maksud positif dari pepatah ini

Pepatah itu biasa diartikan orang-orang seperti ini, yaitu “belajar dari kesalahan, jangan membuat kesalahan yang sama dua kali”

Namun, apa daya, karena manusia memang tempatnya salah dan lupa, dan ada hal-hal yang ternyata di luar kendali kita ,saya lebih setuju kalimatnya diganti seperti ini “belajar dari kesalahan, berusahalah jangan membuat kesalahan yang sama dua kali”. Soalnya hasil kan yg menentukan Tuhan ya

Lalu,bentuk “berusahalah”  kongkritnya seperti apa? Entahlah,ini sulit,(atau mungkin mudah bagi sebagian orang)nyatanya dalam keseharian saya dan kebanyakan orang yang saya lihat, pola-pola kesalahan yg sama terus berulang,  semisal deadliner tugas, belajar sistem kebut semalam, atau dalam kegiatan organisasi yang kegiatannya selalu berulang , pola kesalahan yg berulang pun itu-itu saja.

Saya pun ga tau(atau belum tau) jawaban kongkritnya , cara mengurangi pola2 kesalahan ini, soalnya saya juga begitu,banyak pola-pola kesalahan yg saya ulangi,padahal saya tahu itu salah , apa mungkin karena sudah terbiasa, kita jadi menganggap kesalahan2 itu biasa2 saja yaa?haah, entahlah

Tapi, kalau kata salah satu dosen di kampus saya (saya lupa namanya), katanya sih kuncinya itu dokumentasi. Jadi katanya begini di bilang ke saya “jadi , dek, kamu tau ga perbedaannya, kenapa orang-orang barat sana cepat kemajuannya, dan mengapa kita lambat? Bukan, bukan karena otak-nya, wong kita sama-sama makan nasi sama roti ko,potensi pinternya sama ko,perbedannya mereka “jago” dalam hal dokumentasi di setiap kegiatan mereka, arsip2 kegiatan bulanan, tahunan mereka terkemas  secara rinci, komperehensif, dan tersimpan rapih”

Tapi, di sini kita juga melakukan dokumentasi kan,semisal notulensi rapat yg harus ada saat evaluasi kegiatan. Yah, entahlah, mungkin, mungkin yaa, ada perbedaan kualitas pen-dokumentasian kegiatan orang kita dengan orang barat sana. Tapi saya belum tahu, soalnya belum saya telusuri lebih jauh lagi.

 Kalau dari saya walaupun bukan jawaban kongkrit dan komprehensif, cara agar kita tidak seperti “pepatah si keledai” itu, ya mungkin saling ngingetin aja sih.tolong ingatkan saya juga ya

Firman Fakhri

Bandung, 24 November 2013

*Pentingnya melihat dunia dan membaca buku



Bambang, yang asli jawa, tinggal di rumah yang penuh lemah-lembut, di lingkungan yang berbicara halus, akan kaget sekali saat datang ke Sumatera sana. Takjub melihat orang bicara teriak-teriak, apakah mereka ini sedang marah? Sedang bertengkar? Ya ampun, ternyata mereka sedang bergurau, tertawa satu sama lain.

Itulah salah-satu gunanya pergi melihat dunia. Agar kita tahu, begitu banyak ragam kehidupan. Belajar. Lantas paham. Bukan hanya terkungkung dengan pemahaman versi kita saja. Saya seringkali menemukan kesalahpahaman simpel karena orang2 tidak tahu, tidak paham. Yang parahnya lagi, orang2 ini berani sekali menarik kesimpulan, membabi-buta, padahal nyatanya tidak.

Bambang, yang tidak pernah membaca buku2, malas membaca tulisan2, maka akan kaget sekali saat membaca sebuah buku yang didesain penuh simbol2, atau penuh kalimat2 dgn gaya bahasa berbeda, atau penuh kalimat2 lugas dan tegas. Takjub. Apakah tulisan ini sedang marah2? Yang nulis sedang jengkel? Ya ampun, ternyata maksudnya bukan itu, ternyata tulisan ini justeru sedang santai, sedang begurau.

Itulah juga salah-satu gunanya banyak2 membaca buku. Agar kita tahu, ada banyak ragam tulisan. Belajar. Lantas paham. Bukan hanya terkungkung atas penilaian diri sendiri yang amat terbatas. Saya lebih banyak lagi menemukan kesalahpahaman jenis ini, simpel karena yang membaca tidak tahu. Yang parahnya, orang2 ini cepat sekali menarik kesimpulan, padahal nyatanya tidak sama sekali, orang2 lain justeru berpikir sebaliknya.

Maka, ayo, mari melihat dunia--benar2 melihat dunia. Mari membaca buku--benar2 membaca buku. Tidak pernah merasa cukup. Selalu ingin lagi dan lagi.

*Repost dari page fb bang darwis tere liye

Jumat, 22 November 2013

Kita Hidup dalam Perbandingan-Perbandingan



“Ray, semua itu hanya perbandingan. Otak manusia sejak lama terlatih menyimpan banyak perbandingan berdasarkan versi mereka sendiri, menerjemahkan nilai seratus itu bagus, nilai lima puluh itu jelek. Hidup seperti ini kaya, hidup seperti itu miskin. Otak manusia yang keterlaluan pintarnya mengumpulkan semua kejadian-kejadian itu dalam sebuah buku besar, yang disebut buku perbandingan.

“Buku itu lantas diserahterimakan kepada generasi penerusnya, selalu diperbaharui sesuai kebutuhan jaman, yang sayangnya dalam banyak hal, lama-lama perbandingan itu menjadi amat menyedihkan. Mempunyai harta benda itu baik, miskin-papa itu jelek. Benar- benar ukuran yang tidak hakiki. Bagaimana mungkin posisinya tetap lebih baik kalau harta benda itu didapatkan dengan cara-cara yang tidak baik? Bagaimana pula tetap lebih jelek kalau kemiskinan itu memberikan kehormatan hidup?”

Dua paragraph diatas diambil dari Novel Rembulan tenggelam di wajahmu( hal 415-416) karangan tere liye.

Kita hidup dalam perbandingan-perbandingan.Entah sejak kapan , sadar dan tidak sadar, hidup saya dan kita mungkin seperti itu. Kita dalam hal ini mungkin adalah remaja tanggung dan orang dewasa yang sudah banyak pengalamannya. Namun saya rasa hal ini tidak berlaku buat anak kecil, karena anak kecil belum mempunyai banyak parameter-parameter perbandingan dalam hidupnya, beluum aja yaa.

Kebanyakan dari kita membanding-bandingkan menurut cermin sosial, menurut kebanyakan orang, kalau kebanyakan orang melakukan hal ini, maka hal itulah yg benar, kalau hanya sedikit orang yg melakukan ini, maka orang enggan melakukannya. Kalau mau bahagia, harus punya ini itu, keren itu harus begini begitu,  Masalahnya adalah, tidak semua yg dilakukan kebanyakan orang itu benar, namun belum tentu juga salah.Dan tidak semua juga yg dilakukan sedikit orang itu salah, siapa tau benar. 

Namun,entahlah , batas2 antara hal yang benar dan yg salah di jaman sekarang, dalam sistem2 yg dibuat manusia semakin tidak jelas saja, mungkin yang kita kira baik ternyata tidak baik,tidak sesuai dengan nilai-nilai agama, dan sebaliknya.ya,mungkin itulah kenapa kita harus selalu “membaca” apa saja.Berpikir lebih kritis perbandingan mana yg bahaya dan yg mana yg bermanfaat.

Seperti apa perbandingan2 yg berbahaya? yaitu perbandingan yg selalu membuat kita merasa kurang dan merasa rendah diri,karena perbandingan-perbandingan itu boleh jadi akan membuat hidup kita jadi tidak lepas,luwes, bebas seperti anak kecil, dan tidak objektif, dan satu lagi tidak bahagia, dan kalau kita tidak bahagia , itu kan bahaya.

Lalu perbandingan mana yg baik bagi kita, oke kita kutip lagi paragraf dalam novel rembulan tenggelam di wajahmu, “ ketika kau merasa hidupmu menyakitkan dan kau merasa muak dengan semua penderitaan maka itu saatnya kau harus melihat ke atas, pasti ada kabar baik untukmu, janji-janji, masa depan. Dan sebaliknya ketika kau merasa hidupmu menyenangkan dan selalu merasa kurang dengan semua kesenangan, maka itulah saatnya kau harus melihat ke bawah, pasti ada yang lebih tidak beruntung darimu. Hanya sesederhana itu. Dengan begitu , kau selalu pandai bersyukur.

Jadi, itu yang pertama, lihatlah ke atas dan ke bawah, oh ya,atas dan bawah dalam kalimat di atas pengertiannya luas , tidak selalu identik dengan harta.

Yang kedua, kalau mau membanding-bandingkan,bandingkan saja diri kita dengan diri kita sendiri.Dengan parameter diri kita yang dulu dan diri kita yang sekarang. Kalau lebih baik, alhamdulillah, kalo ga ya berusaha lgi, tapi biasanya sih kita yg sekarang cenderung lebih baik dari kita yang dulu. 

Yang terakhir, mengenai buku perbandingan yg sebutkan di paragraf atas, jadi jangan sampai generasi penerus kita menerima buku perbandingan yg salah dari kita, sebisa mungkin jangan sampai perbandingan2 yg belum tentu benar yg kita alami tersampaikan ke bawah. Cepat atau lambat mau gam au kita harus jadi orang dewasa yang keren,memberi contoh yang baik pada adik-adik kita.

Haaah ,orang dewasa yg keren? Teladan yg baik? Rasanya kalimat2 itu masih jauuuh sekali dari saya,malah sebaliknya, mungkin saya jago sekali dalam pemberi contoh yang tidak baik haha. Apa kalian juga begitu? Kalau iya, berarti kita saling membutuhkan untuk saling mengingatkan.

Firman Fakhri
22 November 2013




Sabtu, 16 November 2013

Introspeksi dan hal-hal kecil yang kongkrit



Sekarang mungkin banyak sekali di sekitar kita yang pandai mengkritik sesuatu tanpa mau berusaha terlibat dalam sistemnya,mengkritik seseorang tanpa berkaca ke diri sendiri setelahnya, dan juga yang pandai menyuarakan sesuatu namun tidak ada langkah kongkrit untuk mencapainya,banyak sekali, dan sayangnya, saya sendiri pun merasa menjadi bagian hal-hal yang saya sebutkan di atas, malah mungkin saya jago sekali. 

Entahlah kenapa, namun lebih baik saya tuangkan dalam tulisan daripada tidak, teringat nasihat teman dulu, “jangan ngebatin!” , lebih baik tuangkan, lebih baik ceritakan.Yah, jadi bodo lah walaupun saya masih merasa seperti yg saya sebutkan di paragraf atas

Jadi boleh kah kita mengkritik suatu sistem atau seseorang ? boleh, tentu saja boleh, kritik adalah tanda kepedulian kita, kritik bisa jadi “tanda” ketidakberesan yang terjadi dalam suatu sistem, kritik adalah baik dalam konteks “saling mengingatkan”. Namun, selalu pastikan sebelum dan setelahnya, kita selalu introspeksi diri, apakah kita ternyata sama saja dengan yg kita kritik, apakah kita sudah berkontribusi dalam sistem yang kita kritik atau belum.

Mengapa introspeksi diri ini begitu penting? Ada beberapa jawaban

Yang pertama, agar kita tidak merasa angkuh, tidak merasa hebat dengan nasihat2 yg kita keluarkan,agar kita selalu beristighfar , minta ampun kepada Tuhan, karena manusia memang tempatnya salah dan lupa.Kalau kita merasa sombong sedikit saja, tamat sudah.

Yang kedua, kita harus introspeksi diri, karena menurut saya, kritik, nasehat2 orang lain itu tidak akan mempan kalau kita tidak ada kesadaran untuk menerima hal tersebut, dan kesadaran untuk menerimanya itulah yg disebut introspeksi diri

Yang ketiga kita harus introspeksi diri, (kebalikan dari nomor dua di atas),karena kadang ga selamanya yg di kritikkan orang tentang kita itu benar, kadang di hati kita sebenarnya kita sudah tau jawaban2 atas apa yang kita pertanyakan, atas apa yang mau kita lakukan,jadi gimana caranya kita tetap menerima kritik2 tersebut namun di saat yg bersamaan ,kita juga telaah apa yang dikritikkan itu benar.

Yang keempat, kita harus introspeksi diri karena demi sistem yang lebih baik. Jadi begini, setiap sistem pasti memiliki tujuan, dan tujuan dalam sebuah sistem pasti dilakukan secara bersama-sama.Lalu faktor apa biasanya yang membuat tujuan itu gagal? Misal dalam kepanitiaan atau organisasi ketika melakukan suatu kegiatan, pasti ada saja hal yg tidak tepat sasaran, dan itu biasanya dikarenakan karena faktor human error.
Apa biasanya solusinya dalam evaluasi untuk faktor human error ini? Setelah evaluasi secara teknis,jawaban yang biasa saya dengar adalah “kembali lagi pada pribadinya masing-masing”, dan menurut saya pun ini salah satu yang paling ampuh.Sebagai contoh,kita tahu di negeri kita banyak masalah, apa solusi yang paling baik selain penegakan hukum yg ditegakkan setegak tegaknya?, ya itu kembali pada diri masing2, coba pikir, kalau semua pejabat,penegak hukum memastikan dirinya berbuat baik,jujur, bermanfaat bagi orang lain, kemungkinan besar masalah-masalah di negeri ini selesai dengan sendirinya, mungkiin siih.Jadi intinya, introspeksi

Lalu, setelah introspeksi ,apalagi? Ya harus berubah jadi lebih baik sih harusnya, dan jangan lupa diikuti tindakan-tindakan, langkah2 yang kongkrit. Kongkrit berarti jelas dan spesifik. Lalu bagaimana caranya? Saya dulu suka mendengarkan ceramahnya AaGym, ilmu dari beliau yang saya ingat adalah 3M, apa itu 3M? 3M adalah, Mulai dari diri sendiri, Mulai dari sekarang , Mulai dari hal yang kecil.

Pertama,mulai dari sendiri, bener banget karena kita ga bisa ngendaliin orang lain, kita hanya bisa ngendaliin diri sendiri,kedua, mulai dari sekarang, ini juga bener banget, karena waktu itu sibuk ,ga bisa nunggu kita, bahkan dia ga peduli, bodo amat walau kita lagi seneng kek lgi galau kek, waktu terus berjalan.Apa biasanya penyakitnya yg menghalangi 2M yg pertama ini? Itu adalah malees dan menundaa, bagi saya pribadi, itu penyakit yg sangat susaah ditaklukaan.

Yang ketiga mulai dari hal yang kecil? Ini juga bener banget,soalnya kadang kita biasanya terlalu nafsu untuk berangan-angan, berbuat besar, pengen ini pengen itu,tapi hal2 kecil dilupakan.Akibatnya hal2 besar yg kita inginkan juga tidak tercapai, “Kalau kita tidak bersyukur atas hal2 kecil, maka bagaimana kita bisa menjamin akan bersyukur hal2 yang besar? Boleh jadi itulah kenapa hal2 besar itu tidak mendekat”. 

Kenapa sih harus mulai dri yg kecil dulu? Kalau kata om covey seperti ini, jadi setiap diri kita memiliki apa yang namanya rekening integritas pribadi. Setiap kita melakukan kebaikan2 kecil, janji pada diri sendiri yang kita tepati, maka saldo integritas/keyakinan dalam diri kita akan bertambah,dan keyakinan ini adalah modal penting bagi kita untuk melakukan sesuatu yang lebih besar.Sebaliknya ,saldo rekening integritas kita akan berkurang kalau kita melanggar janji2 terhadap diri sendiri.Intinya sih, kalau hal2 kecil saja tidak bisa kita lakukan, bagaimana mungkin kita akan melakukan hal2 yg lebih besar.Bahkan mungkin kalau kita selalu melakukan hal2 kecil, mensyukurinya, boleh jadi hal2 besar itu akan datang dengan sendirinya.

Jadi , lakukanlah hal2 baik yg kongkrit , ga usah muluk-muluk,mulai saja dari hal yg kecil terlebih dahulu, semisal selalu biasakan bangun pagi, selalu merapihkan kamar,pakaian2, menyapu , mengepel, bikin to do list buat hari ini,dll, dsb.

Itu saja dari saya, hanya mau menuangkan pikiran, hanya mau mengingatkan,terutama ke diri saya sendiri sih, kalo ga di tulis takut lupa soalnya. Oh ya satu lagi, jangan pernah menilai orang secara objektif dari apa yg dia omong sama yg dia tulis yaa, soalnya kadang itu cuma pencitraan, kalo mau menilai secara objektif lihat omongan+tulisan+kelakuannya sehari-hari+Tanya temen2 deketnya,temen2 satu organisasinya+lebih ampuh tanya orangtuanya langsung.Makasih, wass

Firman Fakhri
17 November 2013

Jumat, 15 November 2013

Efektif dan Efisien


Sewaktu kelas manajemen proyek,dosen saya pernah bertanya pada mahasiswa, kalau kalian menjadi pelaksana proyek, mana yang kamu prioritaskan, “efektif” atau ‘’efisien”? kebetulan dari kami ada beberapa yang menjawab, “efisien”. Lalu dosen saya menjawab, “yakin? Kalau kalian memilih itu, maka kedepannya kalian bisa berpotensi menjadi koruptor-koruptor seperti sekarang yang banyak diberitakan di media massa itu”.saya terdiam sejenak, benar juga ya

Jawaban dari dosen saya itu seharusnya memberikan kita  penekanan penting untuk memahami arti dua kata itu, efektif dan efisien. Pertama efektif, menurut hemat saya,inti dari efektif adalah melakukan kegiatan secara  benar, dengan serangkaian cara-cara atau  yg akan memberikan hasil sesuai yang diinginkan, intinya sih, tepat sasaran dan membawa hasil.Lalu efisien,menurut hemat saya lagi,inti efisien adalah melakukan suatu kegiatan mencapai hasil sebanyak-banyaknya dengan waktu yang sesingkat-singkatnya dengan biaya yang seminim-minimnya. 

Jadi, apa yg akan terjadi kalau orang lebih memprioritaskan efisien dulu?ya itu seperti yang dibilang dosen saya,koruptor-koruptor yang diberitakan di media massa itu, yang penting hasil yang dicapai banyak,waktu ga terbuang, biaya yg dipakai sedikit,bodo amat bagaimanapun caranya, bodo amat hasilnya seperti apa, bodo amat hasilnya ga sesuai dengan standar kualitas ( yg penting keliatannya dari luar sudah oke), bodo amat apalah itu, yang penting efisien sesuai kepentingan dirinya sendiri.


Tentu saja efisien tidak salah dalam suatu kegiatan, malah harus kayanya, namun sebaiknya hal itu dilakukan kalau syarat “efektif” sudah terpenuhi.


Jadi kalau dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana caranya agar segala kegiatan kita efektif?,  ya harus tau ilmunya sesuai dengan kegiatannya,tau ilmunya dengan apa?tentunya dengan membaca, ngbrol2 dengan yg lain,mau menerima masukan orang lain,dll.Oh ya satu lagi yang penting jangan lupa ngaca ke diri sendiri, periksa apakah kelakuan kita sehari-hari lebih mementingkan efektif atau efisien dulu, jangan2 ternyata kelakuan kita ga berbeda jauh dengan kelakuan koruptor2 itu, hanya saja di ruang lingkup yg lebih kecil,belum membesar aja, tapi berpotensi.Jadi ingat selalu ngaca dulu biar ganteng dan cantik.

Firman fakhri
16 November 2013

Kamis, 14 November 2013

FOTO- FOTO KEREN

*Foto2 keren

Mendaki sebuah gunung bukan sebuah kebanggaan, Kawan
Karena kalau kita anggap pendakian gunung itu kebanggaan
Maka jangan lupa, penduduk setempat bahkan setiap hari
Setiap hari mencari kayu bakar, rotan, dan sebagainya di sana
Bahkan anak2 mereka pergi memancing ke atas danau di gunung
Berangkat pagi, pulang sore

Mengunjungi sebuah kota, New York, London, dsbgnya juga bukan prestasi
Karena kalau melanglang buana itu kita anggap prestasi
Maka jangan lupa, pengemis, gelandangan di sana setiap hari
Setiap hari mengemis dan menggelandang di jalanannya
Tidur di sudut2 kota, tempat kita baru saja ber-pose
Lantas kita bagikan di jejaring sosial

Kita tidak bicara berapa banyak gunung yang kita daki
Berapa lembar foto keren yang kita peroleh
Tapi berapa banyak pemahaman yang menetap di hati kita
Lantas menjadi sumber inspirasi kebaikan bagi sekitar
Menyayangi alam, memahami kebesaran Tuhan
Berhenti bertingkah kekanakan
Itulah hakikat pendakian tersebut

Kita tidak bicara berapa banyak kota yang kita kunjungi
Berapa lembar foto hebat yang kita dapatkan
Tapi berapa banyak pelajaran yang tinggal di kepala kita
Lantas menjadi sumber kebermanfaatan bagi orang lain
Memahami keanekaragaman dan perbedaan
Berhenti sombong dan berlebihan
Itulah hakikat sebuah perjalanan

Lakukanlah perjalanan mengelilingi dunia, Kawan
Kunjungi tempat2 indah dan spesial
Bukan untuk dicatat, difoto lantas dipamerkan
Tapi simpel, perjalanan adalah perjalanan
Dia akan mendidik kita dengan lembut
Tentang banyak hal

*Tere Liye


Repost dari page fb bang tere liye, https://www.facebook.com/darwistereliye
© Free Like a Swallow 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis