Satu pemuda dengan mata berbinar-binar, di bawah
temaram lampu kota Jakarta, dengan pemandangan jalanan yang super-macet,
akan bilang dengan suara bergetar: "Aku cinta padamu." Lupakan
sekitarnya, dunia seperti milik berdua saja—yang lain, yang sedang macet di
jalanan hanya numpang.
Sementara di belahan China sana, di lorong-lorong
toko yang ramai, bertemudi bawah hiasan lampion dan naga-naga merah, asap mie
kuah mengepul, serakan bebek peking, mereka akan bilang: "Wo ai ni."
Lain pula satu pemuda bavaria, di dekat sisa tembok Berlin yang sekarang jadi
hiasan toilet, menggunakan syal Bayern Muenchen, dia akan berbisik mesra ke
pasangannya: "Ich liebe dich.” Sedangkan di India sana, dengan sedikit
kerling mata, sedikit aca-aca, diiringi banyak tari dan lagu, mereka akan
bilang: "Mein tumse pyar karta hoon", atau "Tane prem karoo
choo" bagi dialek Gujarat. Si cewek mengangguk, bukankah dia juga selama
ini sudah "Kuch-kuch hota hai" pula? Cocok? Bukan main.
Ah, di bawah menara Eiffel yg elok, bermandikan
cahaya, lihatlah seorang pemuda Perancis, akan mengatakan dengan gagah kalimat:
"Je t’aime." Konon, katanya bahasa Perancis adalah bahasa yang paling
indah, jadi bayangkan betapa super-indahnya pernyataan cinta itu ketika
dikatakan. Indah kuadrat, itu sama dengan, eh super indah.
Lain kisah teman Jepang kita yang sedang berduaan
sambil menatap gunung Fuji yang juga indah, sakura-san akan bilang: "Kimi
o ai shiteru". Dan pasangannya akan mengangguk malu-malu. Besok mereka
akan bertamasya ke Menara Tokyo yang terkenal itu, atau bermain di Disneyland,
Tokyo, entalah. Kalian demam K-Pop? Kalau begitu, tidak perlu saya beritahu bagaimana
orang Korea bilang aku cinta padamu, toh, jangan-jangan kalian sudah lama
menulis kalimat tersebut di buku tulis, lantas diberi gambar love, love, atau
ilustrasi hati merah yang seperti gelembung sabun terbang di mana-mana. Sambil
di bawahnya ada tulisan kecial: muach, muuachh.
"Ana behibek" kata pemuda Arab sambil
tersipu ke pasangannya, maka sang gadis akan menjawab, "Ana behibak".
Tak kalah tersipunya. Tapi, jangan salah kalimatnya. Ada behibak, ada behibek.
Huruf a dan e bisa membedakan arti di gurun pasir sana, kalian bisa disangka
suka sesama jenis jika salah pakai. Saya juga tidak paham bahasa Arab, tapi ini
peringatan yang baik.
Kakek-nenek kita dulu yang masih mengalami
penjajahan Belanda, pasti pernah mendengar meneer dan mevrouw (nyonya) Belandea
saling bilang: "Ik hou van jou", dan lucunya, kakekku dulu juga suka
menirunya, cuek bilang: "Ekhopanjo, bojoku." Tak masalah
separuh-separuh begitu, tak masalah salah-salah lafal, kan bibirnya tetap bibir
inlander pribumi. Yang penting nenek mengerti, dan balas bilang "Ekhopanjo
juga karo sampeyan." Beruntung kita tidak dijajah bangsa Hongaria atau
Kazakhastan, kan susah banget nulis kalimat cinta mereka: "Szeretlek
te’ged", "Men seny jaksy kuremyn". puh, apalagi pas bilangnya, tambah
syusah, kebanyakan huruf konsonannya. Tapi meski susah banget bagi lidah kita,
ajaib, ini kalimat mungkin sudah setengah mati ditunggu seorang gadis yang
selalu menatap penuh harap seorang pemuda yang selalu berjalan lambat di gang
depan rumahnya di kota Budapest yang eksotis itu. Boleh jadi di dalam hatinya
dia berseru, oh, katakanlah "Szeret-zeret tadi padaku."
"Mahal kita" kata orang Filipina,
"Ya lyublyu tebya" kata orang Rusia, "Tora dust daram" seru
orang Persia, "Ti amo" kata orang Italia, dan seterusnya dan
seterusnya. Begitu banyak versi kalimat I Love You di belahan dunia. Saking
banyaknya, tak terhitung. Karena bahasa-bahasa setempat juga punya versi
sendiri. Di Indonesia saja ada lebih tiga ratus bahasa lokal, maka akan ada
tiga ratus pula versi kalimat "Aku cinta padamu?" Di Sumedang, Banten
sana, Padang, Pulau Enggano, Pelosok Papua, Sulawesi, pedalaman Kalimantan, dan
entahlah
Nah, pernahkah ada yang berpikir bagaimana
manusia mengungkapkan "I Love You" pada jaman pra-sejarah? Saat
bahasa belum ada? Saat manusia masih ber "a-a-a, u-u-u, a-a-a-a",
masih mengejar-ngejar dan dikejar-kejar dinosaurus dan kawan-kawannya? Kan
mereka belum punya kalimat sama sekali, jangankan "I Love You", mau
bilang makan saja susah, "a-a-a-a, i-i-i." Maka, menurut teman saya,
yang amatiran soal antropologi dan sejarah manusia, katanya mereka menyampaikan
rasa cintanya dengan pentungan batu. Sungguh. Pakai pentungan batu. Jdut! Sang
cowok akan memukul kepala cewek idamannya, lantas berteriak-teriak,
"i-i-i…u-u-u…" Nah, loh! Celakanya lagi, menurut analisis ngaco teman
saya itu, semakin dalam cintanya, maka semakin keras sang cowok akan
menggunakan pentungan batu yang sehari-hari buat melempar gajah purba tersebut.
Si cewek mati karena digebuk? Ah, mana ada "kalimat cinta" membuat
mati seseorang. Semaput sih iya. Si cewek cuma pingsan sedikit, lantas akan
siuman, kemudian tentu saja akan membalas memukul tak kalah kerasnya,
"i-i-i…u-u-u…." Aku cinta kamu juga. Pakai banget, loh.
Nah, pernahkah juga kalian berpikir bagaimana
pula dengan pasangan yang cacat, kurang beruntung? Pasangan yang buta dan tuli
misalnya? Bagaimana mereka akan bilang cinta? Melihat tak bisa, mendengar juga
tak bisa Ah, Tuhan selalu punya skenario hebat untuk urusan ini. Aku pernah
terkesima menyaksikan sepasang buta yang naik kendaraan umum. Mereka saling
berpegangan tangan sejak memasuki pintu kereta. Mesra nian. Meski umur mereka
berbilang lima puluhan. Yang laki dengan lembut membimbing yang wanita menuju
kursi memakai tongkatnya (meski sebenarnya penumpang lain yang membantu mereka
menyibak padatnya kereta). Lantas mereka duduk bersisian. Yang wanita lantas
meraba-raba sakunya, mengambil dua butir permen. Membukakan satu untuk
pasangannya, satu untuk dirinya sendiri. Mereka buta, jadi amat menyentuh hati
melihat kemesraan dua butir permen itu. Butuh dua menit untuk membuka dua
permen itu Aku menghela nafas panjang. Bagi mereka, kalimat sungguh kecantikan
wajah tak ada gunanya, ketampanan pasangan tidak penting benar-benar menjadi
bukti nyata. Cara tangan mereka meraba-raba, menyentuh lengan pasangannya sudah
bilang sejuta cinta. Dan aku mendadak jengah. Malu. Ya Tuhan, bandingkan cinta
mereka dengan cinta yang kupahami dan kuinginkan. Sungguh mereka mengajarkan
makna cinta yang sesungguhnya. Besok lusa akan saya tulis dalam banyak
buku-buku.
Nah, setelah begitu panjang lebar membahas
kalimat ‘I Love You’, jadi sebenarnya poin penting apa yang hendak saya
sampaikan? Simpel. Kita punya banyak cara menyampaikan cinta. Punya banyak
kalimat. Bahasa. Tetapi sadarilah, cara terbaik untuk menyampaikan cinta adalah
dengan perlakuan. Dengan perbuatan. Dengan pengorbanan yang tulus. Tidak peduli
apakah seseorang itu akan membalas cinta kita atau tidak. Tidak peduli apakah
perlu kalimat itu diucapkan atau tidak. Ucapkanlah dengan memberi tanpa
mengharap, memberi tanpa mengambil, itulah simbolisasi cinta yang paling indah.
Makanya tidak perlu heran jika menemukan
sepasang kekasih, berumur 90 tahun. Sudah menikah 70 tahun. Memiliki anak 12,
cucu 30, cicit 67. Tinggal sederhana di kaki Gunung Kerinci. Kemarin lusa sang
istri tercinta pergi. Dan saat sang suami yang tua menatap sedih butir demi
butir tanah dimasukkan menutupi jasad istrinya, meski menangis, dia tersenyum
rela. Padahal sempurna, dia sempurna tidak pernah bilang "Aku cinta padamu"
kepada almarhum istrinya. Tidak pernah selama 70 tahun kebersamaan mereka.
Karena kalimat itu selalu kelu saat akan diucapkan. Selalu tersumbat saat akan
dikatakan. Kalimat itu terlalu sakral bagi mereka berdua. Tetapi almarhum
istrinya tahu persis, suaminya amat mencintainya, karena kalimat itu terukir
indah bersama hari-hari mereka yang hebat. 25.500 hari. Hari-hari suka-cita,
hari-hari pertengkaran, hari-hari kebahagiaan, hari-hari kesedihan, hingga
hari2 kepergian. Mereka telah berbagi 25.500 hari.
Kita sudah berbagi berapa hari?
Jika usia kita saat ini katakanlah lima belas
tahun, maka yang bisa saya pastikan, kita sudah tinggal bersama keluarga kita
selama 5.000 hari lebih. Jika usia kita saat ini katakanlah tiga puluh tahun,
maka kita sudah tinggal bersama keluarga kita selama 10,000 hari lebih. Maka
sebelum menyontek berbagai ragam kalimat ‘I Love You’ di atas, jangan lupa,
mulailah dengan bilang kalimat itu pada keluarga kita. Ayah, Ibu, adik, kakak.
Itu tidak kalah spesialnya.
Itu bahkan selalu spesial.
*Repost dari tulisan Bang Tere Liye
0 comments:
Posting Komentar